Laman

WELCOME

Rabu, 08 Juni 2011

KEGAGALAN SOFT STORY

Hampir semua bangunan yang rubuh yang kami saksikan mengalami keruntuhan soft story. Buat yang belum tahu, sekedar informasi, istilah soft story menunjuk kepada kondisi keruntuhan gedung (biasanya berlantai lebih dari satu) di mana lantai di bawah lebih "lunak" daripada lantai di atasnya, atau kalau dibalik, lantai di atas lebih "keras" atau kaku dibanding lantai di bawahnya.

Berikut ini adalah gambar beberapa bangunan yang mengalami kegagalan karena pengaruh soft story.

bangunan di atas terpisah dengan ruko di kiri-kanannya


lantai 1 seolah-olah tenggelam ke dalam tanah


kegagalan pada kolom di lantai 1




perhatikan kolom lantai 1...



soft story terjadi di lantai tengah



soft story di lantai 2


Detailing Yang Tidak Tepat
Di dalam perencanaan bangunan tahan gempa, kita harus memahami filosofi keruntuhan sebuah bangunan (khususnya sistem frame/portal). Ada konsep yang dinamakan "strong column weak beam" (SCWB). Konsep ini juga insya Allah akan dibahas lebih jauh di artikel lain. Intinya, pada konsep ini, sesuai namanya, kolom tidak boleh collapse lebih dulu dibandingkan balok. Bicara tentang SCWB berarti bicara tentang beam-column joint, dan bicara tentang joint tidak lepas dari yang namanya detailing. Walopun hitungannya sudah benar, tapi kalo detailingnya ngaco, ya sami mawon a.k.a singkamma ji a.k.a sama saja.

Beberapa gambar di bawah menunjukkan detailing yang kurang tepat.


salah satu sisi Hotel Ambacang

Kami mengunjungi Hotel Ambacang yang banyak diekspos media, dan kami menemukan beberapapetunjuk yang menjelaskan penyebab keruntuhan. Bema-column joint ini misalnya. Kalau dilihat bentang tengah balok kiri, kanan, dan bagian tengah kolom di bawah, betonnya masih oke, tulangannya masih terbungkus aman. Tapi di daerah joint, terjadi collapse. Kurangnya sengkang (ties) di daerah joint bisa menyebabkan keruntuhan ini, buktinya adalah tulangan utama sudah tidak terkekang dan "terlempar" keluar akibat stress yang tinggi yang berasal dari inti beton.

Kasus yang sama terjadi pada beberapa gedung berikut:

Keruntuhan kolom, sengkang tidak cukup kuat

Sengkang yang digunakan pada kolom di atas berukuran sangat kecil. Sepanjang pengetahuan kami, di SNI Beton 2002 disebutkan bahwa diameter minimum untuk tulangan sengkang (lateral) elemen kolom (khususnya dalam memikul beban gempa) adalah 10 mm (boleh polos, sebaiknya ulir).

Pelanggaran yang kedua adalah, menggunakan tulangan polos pada elemen penahan gempa, padahal SNI sudah mengatur untuk menggunakan tulangan ulir untuk semua penulangan (kecuali sengkang boleh polos). Kenapa tulangan polos "diharamkan"? Karena mekanisme lekatannya hanya mengandalkan adhesi dan friksi. Menurut data, kuat lekat ini hanya 10% dari lekatan tulangan ulir dengan diameter yang sama. Pada saat gempa, di mana gaya gempa bekeja bolak-balik, gaya lekatan tulangan polos akan menurun drastis, bahkan bisa hilang (loss) kontak dengan beton, akibatnya sendi plastis yang diharapkan terjadi pada balok tidak akan terjadi.


keruntuhan pada kolom, sengkang kecil dan kurang, tulangan polos



tulangan utama tidak "diikat" dengan baik oleh sengkang

C. Dinding Bata Juga Mendisipasi Energi??

dinding rubuh

Walopun dinding di atas cuma dinding pembatas dua lahan, tapi bisa dibayangkan jika dinding tersebut jatuh menimpa orang di sebelahnya. Kesalahan fatal dinding tersebut adalah, tidak ada struktur yang cukup untuk menahan dinding tersebut terhadap arah lateral.


Gambar di atas, sebenarnya dinding bata sudah dikekang dengan baik, tapi ikatannya terhadap beton kurang begitu kuat sehingga batanya sudah tidak mampu mendisipasi energi gempa. Struktur betonnya sendiri masih utuh, hanya beberapa lapisan finishing yang terlepas.


Dinding di Hotel Bumi Minang

Sementara gambar di atas, dinding batanya ikut mendisipasi energi gempa dan tidak ambruk. Walopun sudah porak-poranda, tapi dinding tersebut masih "menempel" pada struktur utama.


Mutu Beton Yang Kurang Baik



Beton hancur sementara kolom masih berdiri

Pada kolom di atas, tulangan masih terpasang dengan rapi. Sengkang tidak terlepas, tulangan utama tidak "berhamburan", tapi justru inti betonnya yang hancur lebur. Ini menandakan kualitas beton yang terpasang kurang baik.

Keruntuhan Bangunan Baja

Salah satu bangunan struktur baja yang ambruk

Bangunan di atas adalah bangunan hotel yang mempunyai struktur rangka baja.

Tanah bergeser

Di sekitar bangunan tersebut, ada lapisan tanah yang bergeser. Bisa jadi pemicu keruntuhan tersebut adalah bergesernya lapisan tanah yang mungkin membuat (sebagian) pondasi ikut bergeser, sehingga struktur di atasnya terganggu keseimbangan maupun kestabilannya.


Sambungan balok yang merobek sebagian kolom

-http://wiryanto.wordpress.com/2009/10/26/foto-foto-gempa-di-padang/-

TUKANG INSINYUR KELAS 1

Beberapa hari yang lalu, saya membaca tulisan salah satu "master" structural engineering di sini, saya terpaku pada ungkapan "Tukang Kelas 1 versus Engineer". Menarik, dan memang sering dijumpai dalam dunia konstruksi sehari-hari.

Sama seperti beberapa waktu lalu, kami melakukan pengawasan sebuah pekerjaan atap baja di sebuah proyek yang kebetulan perusahaan kami sendiri yang melakukan desain struktur untuk keseluruhan bangunan termasuk atap. Kebetulan jenis atapnya adalah truss. Ada sebagian atap yang sudah jadi, tapi sebagian besar belum difabrikasi.

Sebagai catatan, pelaksana pekerjaan baja tersebut boleh saya katakan (maaf) abal-abal, walaupun menurut pengakuan rekannya, si empunya sudah sangat berpengalaman dalam melakukan pekerjaan konstruksi baja. Memang sih, saya bisa menebak dari istilah-istilah yang beliau gunakan sewaktu berbincang-bincang. Misalnya, si bapak menggunakan istilah "Cremona" untuk menunjukkan struktur jenis "Truss". Saya agak tersenyum dalam hati (!?), soalnya saya tidak ingat lagi kapan terakhir kali saya mendengar istilah "Cremona" yang sebenarnya merupakan salah satu metoda yang digunakan untuk mencari gaya-gaya dalam pada sistem truss.

Singkat cerita, si bapak akhirnya mengusulkan untuk mengganti profil baja salah satu elemen diagonal truss di situ. Pada gambar rencana, kami tuliskan bahwa elemen tersebut harus menggunakan profil pipa. Tapi si bapak mau menggantinya dengan profil U (UNP) yang berat atau luas penampangnya kira-kira sama dengan profil pipa, dengan alasan kalau mau pake pipa katanya volumenya nanggung, dan lagipula sebagian besar truss yang kami desain memang menggunakan UNP. Intinya sih, mereka tidak mau repot-repot membeli (menyediakan) berbagai jenis profil dan ukuran. Kan lebih enak kalo diseragamkan saja semua.

Trus, saya coba tanya, "memangnya kuat pak, kalo pake UNP?"

Kata si bapak, "Ooh.. yang penting kan luasan penampangnya sama. Lagian saya sudah sering ngerjain yang seperti ini"

Saya tanya lagi, "Trus, taunya kuat ato nggak bagaimana, pak?"

Jawab si bapak,"Lhaa.. itu yang sudah saya bangun nggak ada yang rubuh."

Saya coba komentar, "Nggak ada yang rubuh mungkin karena kebetulan, pak. Lagipula bapak nggak bisa mengganti profil baja seenaknya. Saya sih bisa nggak masalah, saya tinggal buat catatan aja kalo bapak tidak mengikuti gambar rencana. Jadi, kalau nanti ada masalah misalnya atapnya rubuh, saya tinggal panggil bapak. Masalah kuat atau nggak kuat, saya nggak berani ngomong di sini. Saya harus buktikan lewat analisis dan hitungan. Lagipula ada alasannya kenapa kami pakai pipa dibanding profil lain. Batang yang diagonal yang itu dominan mengalami tekan. Kalau pakai pipa, kekauannya sama ke segala arah, tidak ada sumbu lemah sumbu kuat, sehingga tekuk lateral bisa dihindari. Kalau pake UNP, waktu mengalami tekan, dia bisa bengkok ke arah sumbu lemahnya, walaupun luas penampangnya sama dengan pipa sebelumnya."

Bapak itu cuma senyum-senyum. Sekilas tersirat ada rasa "tidak mau menerima" penjelasan saya. Memang sih beliau jauh lebih tua dari saya, saya perkirakan ada selisih 15-20 tahun antara saya dengan bapak itu.

Saya juga tidak meragukan pengalaman si bapak. Tidak sedikit "improvisasi" yang dia lakukan di lapangan, seperti mengubah sambungan baut menjadi las, atau sebaliknya, menambah pelat-pelat pengaku karena "merasa" tidak aman dengan detail yang kami berikan.

Kondisi itu tentu saja sedikit merepotkan kami, karena kami harus memastikan bahwa yang mereka lakukan masih masuk batas toleransi, masih bisa dipertanggungjawabkan secara teknis (bukan sekedar pengalaman).

Kami, meskipun masih dalam hitungan tahun dalam melakukan desain, sangat jarang mengandalkan pengalaman. Misalnya saja mendesain balok beton. Tak terhitung sudah ratusan kali kami melakukan desain balok beton, tapi tetap saja kami harus menghitung, tidak pakai kata "biasanya". Alasannya: setiap bangunan punya karakteristik yang berbeda-beda, kondisi pembebanan, luas tributari, kondisi lingkungan, mutu material, metode pelaksanaan, perilaku bangunan keseluruhan, dan lain-lain. Atap dak beton tentu beda dengan lantai beton. Atap dak terkespos oleh hujan, otomatis dibutuhkan selimut beton yang lebih besar agar air tidak bisa merembes ke dalam besi tulangan. Dan masih banyak contoh lainnya.

Beberapa hari kemudian, saya melakukan kunjungan lagi ke lokasi. Saya tidak ketemu lagi dengan bapak si tukang baja. Tapi, saya melihat ada tumpukan batang-batang pipa baja di salah satu sudut lokasi proyek. Hmmm.. saya nggak tau apakah si bapak sudah coba-coba menghitung juga, atau... yaaa.. mungkin si bapak nggak mau pusing-pusing nantinya. Hehe..

Pengalaman itu adalah satu dari berbagai pengalaman yang saya yakin bukan hanya saya yang mengalami, tapi hampir sebagian besar yang mengaku sebagai "engineer" pernah mengalami hal yang serupa. Yah.. walaupun demikian, banyak juga ilmu yang bisa kita curi dari para "Tukang Kelas 1" yang sudah kaya akan pengalaman tersebut. Tidak mustahil, perpaduan pengalaman mereka dan apa yang kita miliki bisa melahirkan seorang "Tukang Insinyur Kelas 1". Saya punya rekan seorang engineer yang pengalamannya sudah jauh di atas saya. Dan beliau tetap selalu mengutamakan check dan analisis sebelum mengeluarkan pernyataan "kuat" atau "tidak", walaupun itu cuma sekedar mengecek konstruksi rumah 2 lantai.

Kalau boleh saya simpulkan, para Tukang Kelas I menyatakan suatu bangunan atau komponen struktur itu kuat jika belum ada riwayat dan pengalaman keruntuhan yang mereka alami. Sementara para engineer menyatakan kekuatan suatu bangunan sebagai perbandingan antara kemampuan menahan beban versus besarnya beban maksimal yang mungkin diterima oleh bangunan tersebut. Menurut anda? []

KOMENTAR
1. "Saya sih bisa nggak masalah, saya tinggal buat catatan aja kalo bapak tidak mengikuti gambar rencana. Jadi, kalau nanti ada masalah misalnya atapnya rubuh, saya tinggal panggil bapak."

ngga bisa gitu, apalagi cman lisan aja bisa berabe kalo nunggu rubuh gitu gmna dgn yg didalam?? mendingan dicheck ulang. kalo menurut anda ok ya approved dan sebaliknya, itu khan memang tugas konsultan/pengawas kao ngga gitu trus scope of works nya ngapain aja ngga jelas.

Syarat struktur bukan hanya kekuatan, stabilitas, kekakuan dll (strength) saja namun juga perlu meninjau sisi ekonomis, kemudahan pelaksanaan, ketersediaan SDA/SDM lingkungan lokasi pekerjaan dll (reliability). Kalo sekedar kuat menara eifell yg didesain awal thun 1900-an aja masih survive setelah hampir 100thn ini, dan terkesan kokoh banyak yg bilang begitu. namun saya belum pernah dengar berapa angka amannya SF thd smua beban yg mungkin. ada link??

UNP bisa jadi lebih kuat kalo dibuat tidur (strong axis in out of plane global buckling modes) dibanding pipa dgn luasan sebanding. Penampang tertutup (pipe/hollow) lebih cenderung efektif terhadap puntir dibanding kasus diatas.

2. Untuk proyek skala menengah dengan manajemen proyek yang "apa adanya", tidak terorganisir dengan baik, apalagi ditambah dengan owner bertangan dingin dan sedikit kurang menghargai profesionalisme, biasanya konsultan/pengawas dituntuk lebih kreatif dan lebih banyak inisiatif dalam memonitor.
Sementara kontraktor 100% tunduk dan patuh kepada kemauan owner. Sehingga kadang-kadang fungsi konslutan sebagai advisor tidak optimal, kalah dengan egoisme dan arogansi dari owner yang kadang lebih mengandalkan pengalaman daripada coret-coretan di atas kertas.
Kami pikir tidak sedikit tipe proyek yang seperti ini..

Di negara kaya seperti daerah timur tengah sana, faktor cost untuk struktur sepertinya sudah dicoret. Mereka rela membuat konstruksi dengan safety faktor yang berlebihan terutama untuk gedung-gedung mewah di sana. Ini berdasarkan cerita pengalaman salah satu rekan di sana. Tapi memang wajar, kalo dibandingkan dengan cost untuk arsitektur, interior, landscape, dan teknologi-teknologi canggih pendukung gedung tersebut, ongkos struktur memang masih kecil.
Kami malah mikir, "kalo gitu, nggak ada seninya lagi dong".. masih lebih hebat engineer di Indonesia.

Hehe, mengenai bangunan monumental, di Indonesia ada sebuah konstruksi yang secara kasat mata terlihat tidak stabil, agak riskan, bikin khawatir bagi beberapa orang awam. Bangunan itu adalah Patung Pancoran Sudah beberapa komentar orang yang kami dengar yang mempertanyakan kondisi patung tersebut. Malah sebuah komentar menarik berkata bahwa patung itu sudah tua, sebentar lagi akan rubuh, apalagi di sekitanya banyak bangunan-bangunan tinggi dan jalan layang yang sepertinya mempengaruhi patung tersebut. Kami hanya bisa tersenyum, dan mengagumi karya "cerdas" tersebut. Kami hanya bisa berkata, seandainya mereka menggali pondasi patung itu, mereka akan tau rahasianya.

Eh.. baru saja terlintas sebuah quote yang menarik:
Seorang Tukang Kelas 1 sangat pandai membuat konstruksi yang terlihat kokoh walaupun belum tentu sekokoh yang dibayangkan.
Seorang engineer bisa membuat konstruksi yang terlihat tidak kuat dan kelihatan labil, padahal sebenarnya konstruksi itu lebih kuat dari yang dibayangkan.

Bukannya mau mendiskreditkan para Tukang. Kami cuma khawatir dengan kejadian beberapa tahun terakhir yang seolah-olah sebagai seleksi alam terhadap bangunan-bangunan di Indonesia, mana yang "well-engineered" building, "semi-engineered" building, atau "just-do-it" building.

Anyway..., dalam kasus yang kami ceritakan di atas, akhirnya si kontraktor mau mengikuti desain kami yang menggunakan pipa.

3. sya jadi inget bbrpa tahun yg lalu sya berdebat ttg suatu pengajuan desain dari kontraktor bumn. sya ngga approved 'coz idealisasi pemodelan struktur ngga sesuai. dia komplain, dan bawa nama jargonnya dari universitas ternama di surabaya. project tetap berjalan ngikutin desainnya, ya memang disini (endo) posisi konsultan kurang sya. karena kesal dan jaga diri, dibuatlah surat teguran resmi ke kacab mempersiapkan jika suatu saat terjadi sesuatu dgn struktur tsb.

kalo masalah tukang itung, saya malah lebih merasa beruntung bertemunya. sya akan tanya bangunan dimana, konfigurasi gimana, gbr for con. sya minta copy nya buat liat dan orat2oret plus klak-klik yah cari tau. bila sempat malah berkunjung liat langsung bangunannya. kalo ternyata ngga sesuai antara itungan sya dgn kenyataan pastinya sya bakalan bertanya2 pd diri sendiri ada yg ngga sesuai dgn asumsi dan prediksi sya. ini kenapa?? karena asumsi adalah idealisasi pemodelan matematis struktur dan pada desain semua rumus diturunkan dari penilitian di labs yg sudah di benchmark.

mengenai sf yg digede2in sya kurang setuju oom influences ku bukan timur dan juga melihat local code phi_shear dari yg tadinya 0.6 (SNI-91) sekarang malah lebih berani jadi 0.75(SNI-02)

4. wuih.. ini baru yang namanya engineer.
Benar kan? Saya yakin anda sudah banyak pengalaman dalam bidang ini, tapi untuk urusan justifikasi kekuatan suatu struktur, anda tidak sekedar mengandalkan "perasaan" dan "pengalaman". Anda tentu lebih mengedepankan analisis yang dapat dipertanggungjawabkan.

5. Ketika memainkan search engine google saya membaca "tukang insinyur kelas 1" dan langsung membacanya krn ada rasa penasaran.

Dalam pengalaman kerja saya, dunia konstruksi kita utk kelas menengah ke bawah (pembangunan ruko 2-3 lantai, rumah tinggal 2 lantai, gudang barang dsb yg sejenis), tidak di dominasi oleh kita para engineer.. Sebagian besar masih dikendalikan oleh "Tukang kelas 1" yang tampil dgn kata "pengalaman" wajah tuanya yg terkesan matang dan meremehkan engineer apalagi para pemula (fresh graduate engineer).

Untuk cerita yang pernah Bapak alami, sering saya alami saat pengawasan proyek dan saya selalu berdebat karena berprinsip bahwa pekerjaan harus sesuai dgn shop drawing dan rks2nya terutama pada item pekerjaan strukturnya. Saya tidak pernah memakai kalimat "nanti Bapak yang tanggung jawab" karena para Tukang bisa berlebihan improvisasinya dan mereka tidak mendapat pemahaman/pelarajan yg baik walau pengalaman segudang. Saya selalu berusaha mengajak diskusi mereka, memakai bahasa teknik sederhana yg muda dipahami dan membandingkannya dgn pekerjaan2 pada pengalaman mereka.
Untungnya......metode saya ini masih berhasil sampai sekarang.

Sebagai konsultan (pengawas) kita bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan yg berdasarkan shop drawing / rks2nya. nah cara menerjemahkannya dalam interaksi diproyek yah itu melalui metode kita masing2 orang sesuai dengan kondisi yg berlaku.

Intinya yang membedakan kita dengan mereka adalah latar belakang pendidikan, jadi kalo diskusi dan kerjasama dgn mereka biasanya menghasilkan kualitas pekerjaan yg luar biasa dgn metode2 kerja yg praktis.

-http://jurnal.umy.ac.id/index.php/semestateknika.. TY-